Laman

Entri Populer

Unknown On Kamis, 04 Juli 2013

"Diujung lelah aku masih berharap Masih ada jalan untuk kembali pulang"



Pagi menyapa bumi baderan. Tujuh pemuda lusuh sedang makan di sebuah warung di salah satu sudut desa baderan. Mereka baru saja melakukan perjalanan selama 6 jam dari surabaya sampai desa baderan-situ bondo . Bukan tanpa sebab mereka bisa berada di desa terpencil ini. Sebentar lagi mereka akan melakukan pendakian gunung argopuro. Gunung yang memiliki ketinggian 3088 m dan terletak di kabupaten probolinngo juga kabupaten situbondo. Ketujuh pemuda itu adalah saya (Miko), Tebo, Dion, Jarjit, Alfian, Farid dan Holis.

Sebelum mendaki kami harus mengurus perizinan dahulu di pos pendakian. Letak pos pendakian dari warung tempat kami makan tidaklah jauh, kurang lebih sekitar 10 meter. Di pos pendakian kami hanya menjumpai seorang petugas yang berjaga.Tak disangka kami ditartar oleh petugas itu. Terlebih dion yang tidak membawa KTP. Ada sekitar 2 - 3 jam kami ditartar, diselingi cerita pengalamanya menjadi petugas kehutanan. Oh iya sekadar informasi, Argopuro adalah suaka marga satwa dengan luas 14.177 Ha. Makanya untuk memasuki kawasan ini, Para pelancong harus membawa SIMAKSI. Sialnya ketika itu kami tidak membawa SIMAKSI. Tetapi petugas tetap mengizinkan kami mendaki walaupun Ilegal hahaha.
Foto di depan pos pendakian


Bertemu Macan 

Perjalanan kami dimulai pada pukul 12.00 WIB. Tujuan kami yang pertama adalah pos mata air 1. Dari referensi yang saya baca butuh 3 jam perjalanan untuk mencapai pos mata air 1 dari pos pendakian. Jadi saya perkirakan kami akan sampai pos mata air 1 pada pukul 15.00 WIB. Tapi kenyataanya berbicara lain kami baru sampai sekitar pukul 19.00 WIB.

Pos mata air 1
Jalan menuju pos mata air satu sebenarnya bisa dikatakan landai. Tetapi hujan yang mengguyur, memperlambat langkah kami. Sesekali kami terjatuh karena memang jalanan bertanah menjadi licin saat hujan. Sandal gunung saya pun menjadi korban. Sandal saya terpaksa harus mengakhiri masa baktinya di gunung argopuro. Saya pun meminjam sandal jepit Tebo untuk melanjutkan perjalanan.

Di perjalanan pos mata air satu ini pulalah, sang putra daerah komandan kami Mifta nur farid sudah berjalan sempoyongan. Akhirnya diputuskan agar Farid dan Holis bertukar tas, karena kebetulan tas yang dibawa Holis hanyalah tas day pack bukan tas carrier seperti yang dibawa Farid. Saat itu malam sudah menampakan wajahnya.

Hampir 7 jam lebih kami berjalan di kedalaman Rimba. Setelah akhirnya kami sampai di pos mata air 1. Kami bergegas mendirikan tenda. Tebo dan dion mengambil air yang letaknya ternyata cukup jauh dari tenda. Jalan menuju mata air pun ternyata terjal. Sebenarnya saya ketika itu ingin menyarankan lebih baik tidak usah mengambil air , besok pagi saja. Tetapi mereka sudah keburu pergi mengambil air.

Setelah tenda berdiri, tebo dan dion juga sudah kembali dari mengambil air. Jarjit segera memasaak masakan untuk kami. Makanan saat itu adalah nasi dengan sarden dan sosis sebagai lauknya. Kecuali tebo dia memasak mie karena dia tidak menyukai nasi. Secangkir jahe hangat juga tersaji sebagai penghangat badan.

Selesai menyantap makanan. Saya bergegas masuk tenda untuk tidur. Sedangkan teman-teman lainnya masih asyik berbicara di luar tenda. Saat itu memang kantuk sangat menyerang saya. Mungkin karena ketika di bis dari surabaya sampai situbondo, saya sama sekali tidak bisa tertidur.

Suasana sudah hening saat itu. Hanya sesekali terdengar bunyi-bunyi serangga malam bersahutan. Saya pun sudah tertidur pulas . Tiba-tiba suara orang panik masuk ke tenda, membangunkan saya. "gw takut dia bawa temen-temennya"... sebuah suara terdengar oleh saya. Yang ternyata adalah suara jarjit. " ada apaan jit ?"... dengan berbisik saya bertanya. "ada macan"... jarjit membalas dengan berbisik pula. Deg.. jantung saya berdegup lebih kencang, napas saya menjadi memburu, dalam kepanikan saya mencoba untuk tetap tenang. Sambil sesekali mengucapkan asma-Nya dalam hati. Dion dan jarjit pun tak jauh beda dari saya. Terlebih-lebih dion yang melihatnya langsung. Dia menggambarkan macan dengan mata besar kuning menyala dan berbulu hitam. Dalam kepanikan seperti itu saya mencoba untuk tertidur, terlelap melewati malam mencekam.

Membuat masakan di pagi hari setelah malam mencekam

Jalan menuju mata air

Foto di pos sebelum melanjutkan perjalanan
 

Dari Sabana,bukit teletubbies sampai landasan pesawat

Pagi menjelang, menghapus ketakutan yang dihadirkan malam tadi. Saya rasakan remang cahaya matahari memasuki tenda. Sejenak saya memperhatikan sekitar, teman-teman saya masih tertidur pulas.  Saya bergegas keluar tenda untuk buang air kecil yang sudah hampir 4 jam saya tahan. Tadi malam saya tidak berani keluar tenda, karena khawatir sang macan masih berkeliaran diluar. Alhasil saya menahan diri untuk buang air kecil.

Perlahan tapi pasti matahari mulai meninggi. Teman-teman saya satu persatu mulai terbangun. Jarjit seperti biasa menyiapkan makanan untuk kami. Menu sarapan kami adalah nasi dengan lauk tempe dan sosiz. Kecuali Tebo seperti biasa dia makan mie. Sejenak pagi itu menyegarkan pikiran kami setelah semalaman ketakutan.

Perut sudah terisi, logistik sudah di packing kembali dan pikiran pun sudah segar kembali. Kami segera harus melanjutkan perjalanan. Tujuan kami selanjutnya adalah cikasur. Butuh waktu lima jam bagi kami untuk sampai sana. Kami berangkat dari pos mata air satu pukul 11.30 WIB dan sampai di cikasur pukul 16.30 WIB.

Perjalanan dari pos mata air satu sampai cikasur pun dihiasi dengan rintik-rintik air hujan. Berulang kali saya harus jatuh bangun karena jalan yang licin. Terlebih saya memakai sandal jepit. Pada akhirnya sandal jepit ini pun menjadi korban setelah sandal gunung saya. Terpaksa saya harus melanjutkan perjalanan tanpa alas kaki.

Untuk mencapai Cikasur kami harus melewati beberapa pos terlebih dahulu. Yaitu pos mata air 2 ,sabana kecil, sabana besar baru kemudian Cikasur. Medan yang ditempuh dari pos mata air 1 sampai mata air 2 cukup berat, apalagi jika sebelumnya hujan. Jalananan akan menjadi licin. Untuk mencapai mata air 2 kami harus melalui tanjakan dan turunan yang terjal berkali-kali. Jalanan akan menjadi landai datar ketika sudah mencapai sabana kecil. Begitu seterusnya sampai Cikasur.

Kondisi alam sabana kecil dan sabana besar tidak lah jauh berbeda. Keduanya sama-sama sebuah padang rumput yang kering menguning dengan kontur tanah yang tidak merata. Mungkin kalau kalian pernah melihat video clip letto yang berjudul sebelum cahaya, persis seperti itulah kondisi sabananya. Di sabana kecil kami sempat istirahat sejenak untuk membuat energen dan kopi.

Jam 16.30 WIB kami sudah sampai di cikasur. Di cikasur terdapat sebuah pos yang bisa didirikan dua tenda di dalamnya. Terdapat pula sungai yang mengalir beberapa meter dibawahnya. Di sungai ini pula kami mengambil air dan selada air sebelum mendirikan tenda.

Pagi di cikasur
Konon menurut cerita di Cikasur adalah bekas landasan pesawat tentara jepang. Memang di tengah luasnya padang sabana cikasur. Telihat pondasi landasan-landasan pesawat. Di dekat tempat kami mendirikan tenda pun terdapat puing-puing barrak tentara jepang. Lembayung senja di cikasur seakan membiaskan sejarah masa lalu itu.

Malam tiba, bintang-bintang satu-persatu mulai bermunculan. Tebo, dion dan alfian masih sibuk mencari kayu kering untuk dijadikan api unggun. Jarjit seperti biasa menyiapkan makanan untuk kami. Saya, holis dan farid mengatur barang di dalam tenda. Suara kucing-kucing hutan yang bersahut-sahutan dari segala penjuru menemani aktivitas kami saat itu. Sesaat kami terdiam agar tidak menarik perhatian mereka. Mungkin kami masih trauma atas kejadian di pos mata air satu. Yang kami takutkan suara tadi bukan suara kucing hutan tetapi suara macan yang sedang berkomunikasi satu sama lain.

Malam di cikasur selain ditemani suara-suara hewan, kami juga di hangatkan dengan api unggun yang dengan susah payah kami nyalakan. Di sekitar api unggun ini lah kami saling mencurahkan hati. Kecuali saya, yang memang tidak mempunyai sesuatu yang bisa di curahkan. Saya hanya menjadi pendengar yang baik di situ... hehehe.

Di perjalanan menuju sabana
Setelah puas menghangatkan diri. Kami bergegas masuk tenda untuk istirahat. Suatu saat saya terbangun dari tidur saya. Saya tidak tahu jam berapa saat itu. Yang jelas malam masih sangat pekat. Dari dalam tenda saya mendengar suara langkah kaki memakai sandal jepit mengelilingi tenda. Awalnya saya fikir itu adalah suara langkah salah satu dari teman saya yang istirahat di tenda yang berlainan dengan saya. Tetapi saya menunggu beberapa lama, suara langkah itu masih saja ada tidak kunjung menghilang. Sebenarnya saya sama sekali tidak takut. Tetapi suara itu cukup membuat saya tidak bisa tertidur kembali. Akhirnya saya mengambil headset dan mendengarkan musik dari hp saya agar bisa tertidur.

Pagi yang saya tunggu pun akhirnya tiba. Saya, jarjit, farid dan holis  berkeliling cikasur untuk sekedar melihat-lihat. Sedangkan Dion, wildan dan alfian mencuci perlatan masak dan makan di sungai. Pagi di cikasur begitu indah. Hamparan padang rumput yang luas, landasan-landasan pesawat,bukit-bukit yang menjulang sesekali juga terdengar suara burung-burung merak. Ada satu bukit yang menarik perhatian kami. Bukit itu tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Bukit yang mirip dengan rumah para teletubies. Disana kami sempat berfoto sejenak. Untuk mengabadikan pemandangan itu.


Sabana kecil

Plang Sabana kecil

Beristirahat sejenak di sabana kecil

Sabana Besar

Melepas lelah di sabana besar

Pos di cikasur

Hamparan rumput

Pagi yang indah

Pertunjukan warna

Landasan pesawat dan bukit teletubbies




Rawa embik

Dari cikasur perjalanan dilanjutkan menuju rawa embik. Dalam perjalanan ini kami hampir saja nyasar. Ceritanya kami sok ide melewati jalur yang melewati bukit teletubies. Padahal seharusnya jalur yang dilewati adalah jalur yang menanjak bukit yang dekat dengan pos kami mendirikan tenda. Untungnya kami tidak tersesat terlalu jauh. Ada kurang lebih satu jam kami berjalan, kami menemui seorang bapak-bapak sedang membopong sesuatu di pundaknya. Kami putuskan untuk bertanya pada bapak-bapak itu untuk memastikan jalan yang kami lalui adalah benar. Pada mulanya kami bertanya dengan bahasa indonesia. Akan tetapi nampaknya bapak tersebut tidak mengerti bahasa indonesia. Akhirnya kami meminta holis untuk bertanya dengan menggunakan bahasa madura. Karena memang bahasa yang biasa dipakai oleh masyarakat probolinggo dan situbondo adalah bahasa madura. Dari jawaban sang bapak kami akhirnya menyadari jalur yang kami lewati ternyata salah. Jalur ini tidak membawa kami ke cisentor tetapi ke Aing ngakal (saya kurang tahu bagaimana cara menulisnya tetapi yang jelas artinya adalah air panas).Oh iya cisentor adalah pos antara cikasur dan rawa embik. Disini pula tempat pertemuan jalur pendakian, bremi, baderan dan jember.

Jalan dari cikasur ke cisentor tidaklah berat, bisa dikatakan landai. Medannya lebih banyak padang lavender yang menghiasi. Namun berhati-hatilah ketika sudah hampir sampai ke cisentor. Sebelum mencapainya kami harus terlebih dahulu melipir bukit. Di jalur melipir bukit inilah kami harus menikmati duri-duri dari pohon jancukan.  Jancukan akan membuat kulit kalian gatal bercampur sakit dan panas. Di jalur ini jancukan memang sudah tidak bisa dihindari. Karena dari kiri, kanan bahkan dijalan tempat kaki menapak, semua tertutup oleh jancukan. Alhasil tidak ada satupun dari kami yang luput dari duri-duri jancukan.

Dua jam setengah waktu yang diperlukan kami untuk sampai ke cisentor, itu tidak dihitung sama nyasarnya. Di cisentor kami sempatkan dahulu untuk mengisi air sebelum meneruskan perjalanan. Saat kami tiba di cisentor ada sekitar empat tenda yang terpasang. Sepertinya tenda-tenda itu milik anak-anak SMA bandung (saya agak lupa antara 9 bandung atau 11 bandung). Di cisentor juga terdapat pos seperti di cikasur.

Setelah air sudah terisi dan basa-basi sebentar dengan anak-anak itu. Kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju rawa embik. Saat itu waktu menunjukan pukul 15.00 WIB. Perjalanan menuju rawa embik tidaklah seperti sebelumnya. Jika sebelumnya lebih banyak jalan datar. Kali ini jalan menanjak yang lebih dominan. Sesekali diselingi padang rumput kering. Kami juga menjumpai banyak pohon edelweis disini. Sayang bunganya masih kuncup belum begitu mekar.

Setelah satu setengah jam kami berjalan. Akhirnya kami tiba di rawa embik. Rawa embik adalah sebuah lembah . Di rawa embik terdapat padang rumput kering. Mengalir pula sungai kecil. Di sungai kecil ini lah kami mendapatkan air. Untuk kebutuhan memasak dan minum kami selama di rawa embik.

Udara di rawa embik sangat dingin menusuk. Disini lah titik terdingin gunung argopuro. Mungkin saya perkirakan, temperatur paling rendahnya bisa sampai 3-5 derajat celcius. Ditambah juga angin lembah yang berhembus pelan. Menambah dingin rawa embik. Saya sendiri langsung mendekam di dalam tenda berselimutkan sleepingbag. Sedangkan lainnya berada di luar tenda. Menghangatkan diri dengan api unggun.

Menahan dingin di rawa embik

Rawa embik
Rumput Jancukan

Berpose di jalur aing ngakal

Padang lavender

Menuruni bukit menuju cisentor

Sungai cisentor

Papan nama rawa embik

Papan nama Cisentor

pos cisentor

Puncak Dewi rengganis dan argopuro

Pagi harinya sekitar pukul 07.00 WIB. Saya, jarjit, Dion, Alfian, Tebo dan Holis meneruskan perjalanan ke puncak. Komandan kami Farid tidak meneruskan perjalanan. Dia memutuskan untuk menjaga tenda. Kebetulan juga sebelumnya dia sudah pernah mencapai puncaknya.

Akhirnya perjalanan diteruskan dengan dipimpin saya. Perjalanan ke puncak tidaklah begitu berat. Awalnya jalannya datar lalu perlahan-lahan mulai menanjak. Sesekali kami juga harus melewati beberapa pohon tumbang juga akar-akarnya. Perjalanan akan semakin dekat saat kita sudah sampai di sebuah padang edelweiss. Di padang ini lah terdapat pertigaan. Jika belok ke kiri akan sampai ke puncak rengganis dan jika belok kanan akan sampai puncak argopuro. Dari padang ini puncak argopuro sudah bisa terlihat.

Atas saran dari komandan kami sebelumnya. Kami mendaki puncak rengganis terlebih dahulu sebelum akhirnya ke puncak argopuro. Perjalanan menuju puncak rengganis dari pertigaan, hanya membutuhkan waktu 30 menit. Jalan menuju ke sana pun tidaklah begitu berat. walaupun tetap menanjak namun tak begitu curam.

Di puncak rengganis kami bisa melihat gunung raung, gunung agung, selat madura juga kota-kota di sekitarnya. Di puncak rengganis terlihat sisa-sisa kawah. Bau belerang pun masih sedikit tercium disini. Kami pun berfoto-foto ria disini.

Setelah puas berada di puncak sang dewi rengganis. Kami meneruskan perjalanan menuju puncak argopuro. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai puncak argopuro dari puncak rengganis, cukup 45 menit. Namun memang butuh perjuangan ekstra untuk mencapai puncaknya. Jalanannya lebih terjal dan menanjak daripada jalanan menuju puncak rengganis. Kami sampai berhenti beberapa kali untuk beristirahat.

Sampai di puncak argopuro. Kami masing-masing menyusun batu untuk menulis nama orang yang kami cintai. Tidak perlu saya menyebutkan siapa-siapanya karena itu bukan untuk konsumsi publik hehehe. Puncak argopuro tidak seperti puncak rengganis yang lapang dan terbuka. Puncak argopuro adalah puncak yang sempit dan tertutup. Tertutup karena disekitarnya masih terdapat pohon-pohon di sekitarnya. Di puncak argopuro juga terdapat sebuah susunan batu tempat orang-orang memberikan sesajen.

Gunung agung di kejauhan dari puncak rengganis

Puncak rengganis

Papan nama puncak argopuro

Padang pertigaan antara rengganis dan argopuro
Just for my mom

Hmi dan teknik fisika

Perjalanan turun

Perjalanan turun tidak sama dengan jalan kami mendaki. Jika jalan mendaki kami melalui baderan, jalan turun kami lalui lewat bremi. Ini menyisakan kesan bagi kami. Awalnya perjalanan berjalan lancar-lancar saja dari rawa embik ke cisentor, dari cisentor ke aing keni. Tak ada satu pun kendala yang berarti. Masalah terjadi ketika perjalanan akan diteruskan dari aing keni menuju danau taman hidup. Kami menemukan jalan bercabang, namun anehnya tidak ada satupun dari jalan tersebut yang memiliki kelanjutan alias buntu. Berputar-putar kami mencari tanda. Dalam pencarian jalan tersebut saya menemukan kotoran macan. Kotoran nya persis seperti kotoran kucing namun lebih besar. Jarjit pun menemukan jejak macan. Namun saya tetap berusaha untuk tetap tenang, tak mengabarkan hal ini kepada teman-teman. Takut mereka menjadi panik.

Pada akhirnya kami menemukan tanda. Namun yang membuat kami sedikit ragu menelusuri tanda ini adalah jalan yang terus menanjak. Beberapa kali kami harus melewati bukit ada 2-4 bukit yang harus kami daki. Ini menurunkan mental sebagian besar dari kami. Karena logikanya tidak mungkin jalan terus menanjak ketika kami ingin turun ke perkotaan. Tapi karena memang sudah tidak ada jalan lain kami terus melangkah.

Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya logistik kami masih ada 2 sampai 3 hari lagi. Tapi yang mencemaskan adalah air kami yang tinggal dua botol lagi, itu harus dibagi 7 orang. Jika keadaan terburuk terjadi. Saya selama perjalanan tetap berharap ada titik terang di balik bukit-bukit yang kami daki. Saya juga punya keyakinan selama masih ada tanda, itu pasti menuju tempat manusia berada. Entah itu ke perkotaan ataupun mungkin kembali lagi ke puncak rengganis. Harapan itulah yang tetap saya jaga. Agar mental saya tidak menjadi turun.

Malam kembali datang. Sedang tanda-tanda danau hidup tidak juga muncul. Kami malah semakin masuk ke kedalaman hutan. Saat itu fisik dan mental kami sudah sangat melemah. Belum lagi ancaman macan yang bisa datang kapan saja. Membuat kami dalam kengerian yang sangat.

Langkah kami tak berhenti menyusuri kegelapan. Hingga tiba kami di sebuah tempat, yang sepertinya habis dibuat seseorang untuk berkemah. Itu terlihat dari bekas api unggun dan juga shelter yang dibangun dari ranting-ranting kayu. Akhirnya kami memutuskan untuk memasang tenda disini. Karena nampaknya akan sangat berbahaya jika kami memutuskan untuk tetap berjalan. Tak lama setelah kami selesai mendirikan tenda. Jarjit dan farid kembali datang membawa secercah harapan. Sebelumnya jarjit dan farid memeriksa kondisi di depan jalur kami. Mereka mengabarkan bahwa mereka melihat cahaya perkotaan dibalik bukit ini. Alhamdulillah... dalam hati saya mengucap syukur. Keadaan tidak menjadi semakin parah.

Keesokan paginya kami meneruskan perjalanan. Dengan perut tetap kosong dan air yang kini tinggal satu botol setengah. Kami menelusuri jalan-jalan setapak yang tertutup rumput dan pohon-pohon hutan. Hingga kami tiba di puncak bukit. Benar saja disana terlihat perkotaan dibawahnya. Lebih dari itu pemandangan yang dihadirkan juga menakjubkan. Di atas bukit ini kami bisa melihat gunung arjuno, welirang dan penanggungan di kejauhan. Tepat di depan kami pun penggunungan tengger dengan bromo dan semerunya berdiri gagah. Sebuah harapan yang berubah menjadi kenyataan. Dari atas bukit ini perjalanan turun sampai bremi berjalan seperti seharusnya. Lancar tanpa hambatan. Kami semua selamat tanpa kurang suatu apapun dari pengkaderan  gunung argopuro.


Dari atas puncak bukit

Air penyambung nyawa kami

kebun cabe di ladang penduduk

Patung wisnu dan garudanya di depan resort bremi

berfoto di depan gardu taman hidup bremi

Ladang penduduk

Warung tempat kami makan di bremi

Spanduk warung mbok tomsiah

Berfoto di polres bremi


"Argopuro mengajarkan aku tentang arti bersyukur, Argopuro mengajarkan aku betapa maha besarnya sang pencipta, argopuro mengajarkan aku kecilnya manusia dihadapan alam"

4 Responses so far.

  1. Unknown says:

    keren mas reportasenya. sy juga ada rencana ke argopuro, insyaallah pertengahan tahun depan.
    wah, serem juga itu ya macan & tanaman jancukannya :D

  2. Unknown says:

    wkwkwk... iya mas disana kan memang suaka marga satwa jadi masih banyak hewan-hewan liar berkeliaran termasuk macan... saran saya kalau memang mau ke argopuro lebih baik bawa peluit mas buat nakut-nakutin macan kalau seandainya bertemu... terus kalau mau diriin tenda jangan di dekat sumber air... di takutkan itu buat tempat minum hewan-hewan liar...
    soal jancukan memang itulah seninya argopuro hehehe :D

  3. Unknown says:

    gua mau nangiiiiis.....
    by : preman TF

  4. Unknown says:

    gua mau nangis cuk......